Oleh: Tedi Kholiludin
Mengawali pertandingan di Piala Dunia dengan kekalahan 0-1 dari Swiss, Spanyol akhirnya keluar sebagai juara. Tulisan ini saya rampungkan sesaat, sebelum pertandingan Spanyol melawan Belanda di final Piala Dunia 2010. Seperti sudah yakin kalau Spanyol yang akan menjadi juaranya. Dugaan saya ternyata tidak salah, La Furia Roja menjadi kampiun piala dunia untuk kali pertama, sekaligus menyandingkannya dengan Piala Eropa yang mereka raih di Jerman 2008 lalu.
Kampiun piala dunia benar-benar menyatukan seluruh elemen atau bangsa yang ada di Spanyol. Prestasi ini tentu suatu yang sangat monumental mengingat catatan sejarah negara tersebut yang pada tahun 1930an masih diliputi perang saudara atau lebih tepatnya rivalitas antara bangsa Catalan dengan Spanyol. Bahkan pertentangan itu berlangsung hingga sesaat sebelum pertandingan final melawan Belanda digelar.
Sabtu 10 Juli 2010, lebih dari sejuta orang di Timur Laut Spanyol melakukan demonstrasi. Mereka menolak keputusan Mahkamah Agung yang telah membatalkan salah satu poin penting pada undang-undang otonomi Catalan. Dalam aksi tersebut sempat dibentangkan beberapa spanduk yang bernada perpecahan seperti ‘Catalan bukan Spanyol’. Salah seorang siswa peserta aksi bahkan mengatakan aksi mereka merupakan awal bagi kemerdekaan Catalan. (vivanews.com)
Melihat ketegangan yang terjadi di Catalan, pelatih Del Bosque berharap bahwa hal tersebut agar segera bisa diredakan, karena Tim Matador butuh dukungan penuh dari masyarakat Spanyol. Catalan merupakan salah satu daerah tertua di Spanyol dengan ibu kota Barcelona. Wilayah dengan populasi 7 juta jiwa itu mendapat hak otonomi khusus sejak referendum yang dilakukan pada 2006.
Perlawanan bangsa Catalan, kemudian melekat kuat dalam duel Barcelona dan Real Madrid di La Liga yang sering dijuluki sebagai El-Classico.
Menariknya, tim nasional Spanyol yang menjadi juara dunia juga dihuni oleh kebanyakan dua tim tersebut. Daristarting eleven pertandingan final semalam, hanya Juan Capdevilla yang bukan berasal dari klub Madrid dan Barcelona. Serge Bosquet, Xavi Hernandes, Charles Puyo, Gerrard Pique, Andreas Iniesta, Pedro Rodrigues dan David Villa tampil sebagai wakil dari Catalan, sementara Iker Casillas, Sergio Ramos serta Xabi Alonso datang dari Ibu Kota.
Awal permusuhan Barcelona dan Real Madrid atau tepatnya bangsa Catalan dan Spanyol berawal dari masa pemerintahan Jenderal Fransesco Franco sebagai penguasa Spanyol. Franaco adalah diktator fasis yang merebut kekuasaan di Spanyol 1939 setelah kaum nasionalis dengan bantuan Fasis Italia mengalahkan kaum Republikan dengan bantuan komunis Uni Sovyet dalam sebuah pertempuran saudara di Spanyol.
Barcelona adalah ibukota provinsi Catalonia. Sebagian besar dari mereka berasal dari bangsa Catalan dan Basque. Ketika Franco berkuasa, ia melarang penggunaan bendera dan bahasa daerah Catalan. Barcelona kemudian menjadi tempat dimana orang-orang Catalan dapat berkumpul dan berbicara dengan bahasa daerah mereka. Hal ini membuat Franco geram.
Franco kemudian bertindak lebih brutal. Pada tahun 1936, Presiden Barcelona Joseph Sunol tewas dibunuh oleh pihak militer. Tahun 1938, sebuah bom dijatuhkan di FC Barcelona Social Club atas perintah Franco. Di atas lapangan, Barcelona dipaksa untuk mengalah dari Real Madrid pada tahun 1941. Franco saat itu begitu mengagungkan Madrid saat itu. Barcelona akhirnya kalah 1-11.
Sejak saat itu, Barcelona akhirnya mejadi simbol perlawanan Catalonia terhadap Franco dan Spanyol. Selain Barcelona ada juga klub Athletico Bilbao dan Espanyol. Bilbao bahkan tetap memakai pemain asli Basque, meski akhirnya tidak memiliki prestasi sementereng Barca. Kalau saja mereka berhasil memisahkan diri dari Spanyol, bukan tidak mungkin yang akan menjadi juara dunia adalah Catalan, bukan Spanyol. Sampai sekarang, Catalan, cukup puas menjadi tim nasional untuk pertandingan-pertandingan persahabatan.
Bangsa Tanpa Negara
Kemenangan Spanyol, sekali lagi mengingatkan kita akan eksistensi Catalan yang menjadi bagian dari negara itu. Kehadiran Catalan sebagai bangsa kembali memantik diskursus mengenai relasi bangsa dan negara. Mengutip Enric Prat de la Riba, Manuel Castells (2000) menganjurkan agar perlu membedakan antara negara dengan bangsa. Negara adalah organisasi politik yang secara eksternal merupakan kekuatan independen, dan secara internal adalah kekuasaan tertinggi, dengan kekuatan utama ada di rakyat dan uang untuk menjagai independensi dan otoritasnya.
Dalam relasi antara bangsa dan negara, Castells mengeksplorasi dua kasus berbeda yakni kasus Uni Soviet dan Catalunya, Spanyol. Menurut Castell, kasus yang dihadapi Uni Soviet itu menunjukan Bangsa yang melawan Negara (nations against state). Sementara kasus kedua, dihadapi oleh Catalunya yang diidentifikasi sebagai bangsa tanpa negara (nations without state).
Pengalaman Catalunya mengajak kita untuk merefleksikan kondisi dimana sebuah bangsa eksis dan merekonstruksi dirinya, bukan sebagai sebuah negara-bangsa, dan tanpa bermaksud mendirikan salah satu diantaranya. Pimpinan tertinggi Catalunya, Jordi Pujol menuturkan kalau Catalunya merupakan bangsa tanpa negara. Kasus Catalunya itu cukup rumit, karena mereka memiliki bahasa dan budayanya sendiri. Tetapi negara mereka adalah Spanyol.
Berdasarkan penggambaran kasus di Uni Soviet serta Catalunya, Castells menuturkan kalau ia menggarisbawahi bangsa sebagai komunitas budaya yang dikonstruksi dalam pikiran masyarakat dan memori bersama tentang sejarah dan politik.
Dua kasus, kembali mengambarkan karakteristik dari periode sejarah saat ini. Pertama, disintegrasi negara dengan banyak bangsa yang mencoba untuk tetap berdaulat secara penuh atau menolak pluralitas konstituen bangsanya. Kasus ini menimpa Uni Sovyet awal, Yugoslavia, Ethiopia, Cekoslovakia, dan mungkin pada masa akan datang akan melanda Sri Lanka, India, Indonesia, Nigeria dan negara lainnya. Disintegrasi ini menghasilkan apa yang disebut sebagai quasi-nation-states.
Kedua, kita mengamati perkembangan “negara” yang hanya menjadi negara bagian, tetapi memaksa pemerintahan pusat untuk menyesuaikan dan mengakui kedaulatan seperti dalam kasus Catalunya, Negara Basque, Flanders, Wallonie, Scotland, Quebec, Kashmir, Punjab dan Timor Timur (sebelum merdeka).
Dari aspek ekonomi, Catalonia adalah bangsa nomor dua termaju dalam hal industri di Eropa setelah Inggris pada abade ke-18. (Oomen, 2008: 53). Barangkali bagi elit Catalonia tidak ada perbedaan antara mempertahankan tingkat otonomi ekonomi, politik dan kultural bangsa dengan kebijakannya untuk menjadi bagian dari negara Spanyol. Jadi kasus Spanyol sebagai nasionalisme ”negara dominan” dengan memperhatikan Catalan sebagai bangsa yang menggabungkan diri dengan kekuasaan yang lebih besar, tidak semuanya benar.
Hanya saja penting untuk melirik jiwa bangsa Catalan yang tidak semuanya memiliki pandangan demikian, seperti yang tergambar pada demonstrasi sehari sebelum pertandingan final. Lihat misalnya, betapa Puyol dan Xavi begitu nyaman berbalut bendera Catalan sembari berlari mengitari lapangan. Sisa-sisa fasisme Franco, terkadang masih kuat melekat dalam memori bangsa Catalan ini. Rivalitas Barcelona-Real Madrid, bagi sebagian pendukung El-Barca, bukan tidak mungkin masih bermakna rivalitas sebagaimana yang terjadi pada kali pertama Jenderal Franco menyemai benih permusuhan itu.
Sayang, Jenderal Franco tidak sempat melihat keberhasilan Spanyol menjadi juara dunia dengan Catalan ada di dalamnya. Entah apa yang dibayangkan Franco jika ia hidup saat ini, apakah ia masih menyisakan kebanggaannya dengan Spanyol yang ada bangsa Catalan di dalamnya karena telah menjadi Juara dunia, ataukah ia merasa kemenangan Spanyol itu sebagai suatu yang ternoda karena ada Xavi, Puyol dan Iniesta yang adalah orang Catalan?
Dengan keluarnya Spanyol sebagai juara, bukan berarti bahwa bangsa Catalan akan hanyut dalam euforia itu. Jangan terburu-buru berkesimpulan bahwa sepakbola Spanyol akan menjadi faktor pemersatu. Sepertinya, Catalan tetaplah Catalan, bukan spanyol. Mereka pasti akan menikmati pesta kemenangan itu sebagaimana orang Spanyol. Namun, itu nampaknya hanya akan berlangsung sesaat dan akan kembali kepada kehidupan normal sebagai orang yang bangga dengan identitas sebagai bangsa Catalan.
source: elsaonline.com
0 komentar:
Posting Komentar